Pengiat
Bekam steril ust khatur suhardi
Majalah
hidayatullah
Tanpa
mengaku, empat penderita HIV/AIDS pernah meminta dibekam di ruang prakteknya.
Namun, hasil diagnosa menunjukkan mereka positif mengidap AIDS. Jika diagnosa
tidak akurat, apalagi tidak dilakukan sama sekali, infeksi nosokomia sangat
mungkin terjadi.
Hal
tersebut dialami Kathur Suhardi, praktisi Thibbun Nabawi (kedokteran nabawi)
kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 51 tahun silam. Di klinik Assabil Holy Holistic
miliknya, Kathur pernah mendeteksi empat orang pasien pengidap HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Penyakit mematikan
yang belum ditemukan obatnya.
Parahnya,
ketika diperiksa, keempat orang itu tidak mengaku sebagai penderita HIV. Bahkan
langsung meminta dibekam di kliniknya. “Padahal, hepatitis saja kita harus
menggunakan alat (bekam) sendiri,” kata Kathur. Setelah melakukan irodologi
(diagnosa melalui pengamatan iris mata) dan berbagai pengamatan, Kathur
mengetahui sang pasien menderita HIV. “Akhirnya mereka mengaku sendiri,” kata
Kathur.
Yang
dikhawatirkan Kathur adalah munculnya infeksi nosokomia. Yakni penularan
penyakit melalui fasilitas kesehatan akibat tidak diterapkannya standar
sterilisasi alat.
Dari
kasus tadi, Kathur mendapatkan pelajaran berharga. Bagaimana jadinya kalau sang
peng-hijamah (orang yang membekam) tidak punya sarana diagnosis penyakit ketika
menghadapi pasien macam itu? Apalagi sang pengidap HIV juga tampak bugar dan
muda pula.
“Maka
ketika seorang peng-hijamah tidak mempunyai sarana diagnosis penyakit, lalu dia
membekam yang kebetulan pasiennya adalah penderita HIV. Kemudian kop itu
langsung digunakan lagi untuk membekam pesien yang lain, maka dia akan
menularkan HIV dari satu orang ke orang lainnya,” ujar Kathur mewanti-wanti.
Inilah
yang membuat Kathur sangat khawatir dengan praktek bekam yang tidak memenuhui
standar operasional medis dan sterilisasi. Menurut Kathur, melakukan
sterilisasi tidak harus menggunakan alat sterilizer. Bisa juga, kata Kathur,
digunakan alternatif lain dengan melakukan sterilisasi basah. Yakni dengan
mengukus semua alat-alat bekam yang telah digunakan selama 10 menit di atas air
yang sudah dididihkan paling kurang 20 menit.
“Bukan
dicemplungkan, tapi dikukus. Ini akan efektif sekali membunuh virus atau
bakteri sporosidal (jamur) yang ada dalam alat-alat bekam, yang tidak bisa
lepas jika hanya dengan alkohol,” jelasnya.
Dari
Buku
Kathur sendiri bukanlah seorang dokter atau pernah kuliah di fakultas kedokteran. Namun, produktivitasnya menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, mengantarkannya kepada thibbun nabawi. Di antara buku yang dia terjemahkan adalah Asy-Syifa’ min Wahyi Khatamil Anbiya’ karangan Syaikh Aiman bin Abdul Fattah, yang terbit tahun 2002.
Kathur sendiri bukanlah seorang dokter atau pernah kuliah di fakultas kedokteran. Namun, produktivitasnya menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, mengantarkannya kepada thibbun nabawi. Di antara buku yang dia terjemahkan adalah Asy-Syifa’ min Wahyi Khatamil Anbiya’ karangan Syaikh Aiman bin Abdul Fattah, yang terbit tahun 2002.
Melalui
buku, pria yang telah menerjemahkan 310 judul buku berbahasa Arab ini, terus
mempelajari secara intens metode hijamah, sistem imunitas, dan praktek thibbun
nabawi lainnya yang belum banyak dikenal di Indonesia. Bersama sang istri,
Aminah Syafa’ah, yang sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Kathur mulai melakukan percobaan-percobaan
teknik dan titik-titik hijamah.
Kasus
pertama yang ditanganinya, adalah penyakit varises yang dialami seseorang dari
kelurganya sendiri. Setelah dua kali dibekam varisesnya sembuh total. Kemudian,
dia juga melakukan pengobatan kepada pasien yang mengalami sakit pusing-pusing,
diabetes melitus (gula darah tinggi), dan juga demam berdarah.
“Saya
sendiri terkena demam berdarah. Luar biasa, semua penyakit tersebut bisa
disembuhkan (dengan izin Allah) lewat pengobatan hijamah,” ungkap ayah dari
Althof Fathon Amsaka (19 tahun), Azha Azuna Amsaka (14 tahun), dan Zid Mazadana
Amsaka (8 tahun).
Kathur
dan beberapa timnya terus melakukan eksperimen. Bersamaan dengan itu, dia juga
mendalami ilmu anatomi, fisiologi, dan patologi lewat buku-buku kedokteran yang
diborongnya. Selain itu, ia juga melakukan diskusi dengan dokter-dokter.
Pelopor
Bekam Steril
Setelah melakukan penelitian dan percobaan selama kurang lebih dua tahun, pada tahun 2005, Kathur dan istri melahirkan karya berupa panduan anatomi titik-titik bekam.
Setelah melakukan penelitian dan percobaan selama kurang lebih dua tahun, pada tahun 2005, Kathur dan istri melahirkan karya berupa panduan anatomi titik-titik bekam.
“Kita
pada prinsipnya hanyalah mendakwahkan pengobatan Nabi. Terutama untuk membantu
kepada para peng-hijamah yang lain tentang pentingnya memahami titik-titik
bekam sesuai dengan kasus yang dialami pasien,” jelas pria humoris yang pernah
meraih predikat penerjemah terfavorit berdasarkan pilihan pengunjung Islamic
Book Fair di Istora Senayan, Jakarta.
Tentang
bekam steril, Kathur menjelaskan, kerangka berpikirnya bahwa hijamah adalah
proses pengeluaran darah. Kalau ada pengeluaran darah, artinya sudah masuk
kategori bedah minor (minor surgery). Dalam praktik bedah minor, maka harus
mengikuti acuan standar operasional prosedur (SOP).
Kathur
melanjutkan, untuk bedah minor, standarnya berkaitan dengan alat hijamah yang
harus steril, desinfeksi yang berkaitan sterilisasi di ruang bekam, dan alat
pembersih darah harus steril. Serta alat-alat lain yang mendukung semua SOP
untuk praktik bedah minor.
Peng-hijamah
juga harus memakai sarung tangan steril (medical gloves) dan masker. Yang lebih
penting lagi, kata Kathur, tidak boleh sembrono dalam menggunakan alat-alat
hijamah.
Dia
mencontohkan, kop yang steril tidak boleh kehilangan sterilitasnya dengan menempatkannya
di tempat yang tidak steril, atau mengambil alat-alat yang steril tadi dengan
alat dan cara yang tidak steril.
“Langsung
dicomot, maka itu tidak steril. Kop sudah jatuh, terus kop digunakan lagi untuk
membekam, maka itu juga sudah menggugurkan standar sterilisasi,” ujar lulusan
Institut Pendidikan Darusslam Gontor ini. Kathur kemudian mengutip Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
bahwa, “Barangsiapa yang berani mengobati, padahal dia tidak punya kapabilitas
keilmuan tentang pengobatan, maka dia harus bertanggung jawab.”
Kini,
Klinik Assabil Holy Holistic yang dirintis Kathur sejak tahun 2002 telah
mengantongi izin operasional dari Dinas Kesehatan Jakarta Timur dengan dibantu
12 orang karyawan. Assabil Holy Holistic juga telah mendapatkan izin dari Dinas
Pendidikan untuk penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan hijamah.
“Pihak
Dinkes mendapat masukan tentang standar sterilisasi bekam dari saya, mereka
tidak tahu. Maka saya dijadikan mitra kerja Dinkes tentang prosedur perizinan
praktik bekam,” kata Kathur yang juga menjadi staf ahli redaksi di beberapa
penerbit di Jakarta.
Sejak
bulan Juni 2004 hingga sekarang, Assabil Holy Holistic telah 84 kali
menyelenggarakan pelatihan hijamah, dengan lebih 5.000 orang peserta. Kata
Kathur, kebanyakan peserta pelatihan mempraktekkan hijamah untuk kebutuhan diri
dan keluarga, hanya sedikit yang membuka klinik bekam sendiri.
Sampai
saat ini, Assabil sudah menangani sekitar 4.000 pasien. Untuk terus
memasyarakatkan metode pengobatan hijamah, setiap hari Jumat pukul 18.30 sampai
19.00 WIB, Kathur siarang langsung di stasiun JakTV. Pada acara ini, Kathur
membahas seputar Thibbun Nabawi Holy Holistic yang dia terapkan.
“Saya
sangat senang hijamah sudah menyebar di mana-mana. Namun, dari sisi positif
kita harus tetap mendukung standar operasional medis terutama sterilisasi,”
pungkasnya. *Ainuddin Chalik, Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah JUNI 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar